Tanjidor (kadang hanya disebut tanji) adalah sebuah kesenian betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19 atas rintisan
Augustijn Michiels atau lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje di daerah Citrap
atau Citeureup. Alat-alat musik yang digunakan biasanya sama seperti orkes barisan.
Kegunaan alat musik Tanjidor umumnya dipakai dalam
musik jalanan tradisional, atau pesta cap gomeh di kalangan Cina Betawi. Musik ini merupakan
sisa dari musik baris dan musik tiup zaman Belanda di Indonesia. Juga biasanya kesenian ini digunakan untuk
mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Tapi pada umumnya kesenian
ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara
luas layaknya sebuah orkes
Lenong sebagai tontonan, sudah
dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal,
menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang
Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran
alias lawakan tanpa plot cerita. Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan
pendek, yang dirangkai dalam cerita
tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon
panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman
penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di
panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi
tontonan panggung Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar
sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan
besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana
dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa
colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah.
Sebelum meningkat jadi petromaks. Walaupun terus menyesuaikan diri dengan
maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak
mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam
suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran.
“Rasanya, kami seperti berada di pinggir jurang,” cetus S.M Ardan, sastrawan
dan sineas Betawi yang kini aktif di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar