Kamis, 04 April 2013



Pakaian adat tradisional masyarakat Yogyakarta terdiri dari seperangkat pakaian yang memiliki unsure-unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kelengkapan berbusana tersebut merupakan ciri khusus pemberi identitas bagi pemakaianyayang meliputi fungsi dan peranannya. Oleh karena itu, cara berpakaian biasanya sudah dibakukan secara adat, kapan dikenakan, dimana dikenakan, dan siapa yang mengenakannya.
Pada masyarakat di Yogyakarta, fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan yang pakaiannya mempunyai fungsi praktis, estetis, religious, social, dan simbolik. Sperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan. Fungsi etetisnya adalah menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik. Fungsi sosialnya adalah belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita, serta memakai stogen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.
Bahan yang dipakai adalah ada yang dari bahan katun, bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik, atau bahan-bahan estetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam. Teknik pembuatannya ada yang ditenun, dirajut, dibatik, dan dicelup.

Rabu, 03 April 2013

kebudayaan betawi




Tanjidor (kadang hanya disebut tanji) adalah sebuah kesenian betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19 atas rintisan Augustijn Michiels atau lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje di daerah Citrap atau Citeureup. Alat-alat musik yang digunakan biasanya sama seperti orkes barisan.
            Kegunaan alat musik Tanjidor umumnya dipakai dalam musik jalanan tradisional, atau pesta cap gomeh di kalangan Cina Betawi. Musik ini merupakan sisa dari musik baris dan musik tiup zaman Belanda di Indonesia. Juga biasanya kesenian ini digunakan untuk mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Tapi pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas layaknya sebuah orkes
                                   
                                               


Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita. Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks. Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kami seperti berada di pinggir jurang,” cetus S.M Ardan, sastrawan dan sineas Betawi yang kini aktif di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.